Setiap Pagi
Tentang
Putra #1
Setiap
pagi di antara matahari pagi yang hangat dan udara sejuk persawahan di depan
sekolah, aku menantimu. Aku menantimu berjalan dengan susah payah – sepertinya ,
walaupun itu kamu rasa mudah. Aku menantimu dengan tas ransel hitam yang tak
terpasang semestinya di kedua bahuu satu sisi miring, sisi yang lainnya entah.
Kau hanya asal pakai. Aku menantimu dengan koran yang tak terlipat sewajarnya
dalam genggaman tanganmu yang unik – kaku. Aku menanti seorang kamu yang selalu
aku sapa, namun kamu hanya mengerjap beberapa detik saja. Tahukah kamu, ketika
kamu mulai menghafalku sebagai seorang guru – aku merasa sudah tak perlu lagi
memusingkan nilai praktik mengajarku. Semua seperti sempurna. Hanya dengan kamu
melihatku sekian detik saja, kita melakukan kontak mata. Matamu menangkapku,
dan matamu menangkapku. Aku sudah sangat bahagia.
Hari
ini kamu terlambat, senam pagi sudah berlangsung satu setengah putaran. Seperti
biasanya, kamu memasuki gerbang dengan langkah yang terlihat susah, kamu datang
dengan tas selempang bewarna hitam yang tak terpakai semestinya di kedua bahumu
– ya asal pakai, tak lupa koran pagi ini
yang kamu genggam dengan sekenanya. Aku paham itu. Setiap pagi hadirnyalah yang
aku tunggu. Kamu meletakkan tasmu dan koramnu di bangku kayu tua di depan
kelas, lalu dengan langkahmu yang khas kamu ikut berbaur untuk senam pagi. Kamu
tahu kebiasaan itu, tanpa disuruh ikutpun kamu akan ikut.
Senam
pagi, dilakukan dua kali putaran sebelum masuk kelas. Semua ikut senam, baik
yang datang awal maupun datang terlambat. Kamu datang terlambat, ada di barisan
belakang. Aku selalu tertarik untuk mendampingimu ketika senam. Aku tertarik
untuk mengintruksikan ini itu, agar kamu bisa lebih bergerak dengan terarah.
Ya,aku ingin kamu bergerak! Hari ini kamu ada kemajuan, kamu bisa mengikuti
gerakan yang aku contohkan tanpa harus aku prompting.
Kamu imitator yang baik, Putra – walaupun perlu waktu yang tidak sebentar.
Aku tahu kamu bisa. Kamu bisa mengikutiku
bertepu tangan, walaupun tanganmu tidak tepat bertepuk, kamu bisa
mengikuti menggerakkan kaki ke kanan dan ke kiri, walaupun langkah kakimu kaku
dan kacau, kamu bisa mengikutiku menggelengkan kepalamu ke kanan walaupun masih
dan pastinya sampai nanti pun gerakanmu akan terus stereotip. Aku bangga padamu
pagi ini. Kamu bisa mengikuti hampir semua gerakan yang aku contohkan.
Putra,
aku tahu kamu banyak tahu, tapi apakah kamu tahu kalau aku ini perlu tahu banyak
tentangmu?
“Aig..aig..aig..aig”
Kata-kata yang selalu keluar dari bibirmu, lalu kamu singgung senyummu dengan
melihatkan gigimu. Tersenyum, tertawa, melirik, dan memainkan jari-jari tangan.
Kamu lakukan itu setiap istirahat dan sepulang sekolah di bawah ring basket.
Ada apa dengan tempat itu? Mengapa kamu
selalu berkata “aig.aig..aig” ? Mengapa kamu tak mau bicara padaku padahal kamu
mengenalku? Benar kan, kamu mengenalku?
Aku
berharap, aku dan kamu suatu saat bisa berbicara. Tak hanya saling kontak mata,
tapi berbicara. Iya, berbicara. Kita lakukan sebuah perbincangan seputar hobimu
misalnya, pelajaran yang kau anggap sulit, atau makanan favoritmu? Suatu saat
kamu pasti bisa kan? Aku menunggu waktu itu, Putra. Aku akan dampingi kamu.
Komentar
Posting Komentar