Tentang AJAR dari Pengagum Rahasia
Kamu membantuku mengenali siapa aku, bagaimana aku, dan bagaimana seharusnya aku
Tak pernah menjatuhkanku ataupun menghakimiku
Kau ungkapkan apa adanya tentang aku
Pengobar semangatku
Saat aku jatuh,
aku selalu membaca tulisanmu ini
Dab hasilnya mujarab
Setidaknya aku bisa terhibur dengan gambaran diriku dalam karyamu
Terimakasih,
Hilda Tris Bianti
Ajar Hayumahastuti. Aku biasa memanggilnya Imas dan kadang hanya memanggilnya “Mas”. Namun ada pula yang memanggilnya Zim, Miz, dan bahkan Sayur sebagai panggilan akrab. Aku tak pernah memanggilnya selain Imas. Aku selalu memanggilnya Imas. Bukannya aku tidak akrab dengannya, melainkan karena nama Imas sangat indah dan terasa manis saat diucapkan. Aku memang selalu memanggilnya Imas, namun aku selalu ingin memanggilnya dengan panggilan “Ajar”. Panggilan yang cocok untuk menggambarkan kepribadiannya yang sederhana dan bersahaja . Untuk itu, ijinkan aku dalam tulisan ini memanggilnya Ajar. Ajar.
Jika ada yang bertanya kapan aku mengenalnya, maka aku akan kembali pada enam tahun yang lalu. Tahun dimana hidup terasa sangat indahdan menyenangkan. Masa dimana masa depan bukanlah suatu permasalahan. Jika ada yang bertanya bagaimana aku bisa mengenalnya, maka akan kujawab “aku tak tahu”, karena memang tak pernah terbesit dalam benakku jika aku bisa mengenalnya . Baik sebagai seorang teman ataupun sebagai sahabat. Tapi layaknya sungai yang bertemu lautan, aku dan dia akhirnya dipertemukan juga. Pertemuan yang orang menyebutnya sebagai takdir. Aku selalu percaya takdir. Dan jika takdirku bertemu dengannya, maka itu adalahsalah satu takdir yang kusyukuri.
Ajar Hayumahastuti namanya. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku memang belum sepenuhnya mengenal Ajar, bahkan setelah enam tahun menyaksikan eksisitensinya. Bahkan setelah setahun penuh akuberada dalam lingkup yang sama. Padahal aku selalu ingin mengenalnya, mengetahui sisi lainhidupnya yang belum pernah kuketahui. Bisa kubilang Ajar adalahsebuah misteri, yang membuat siapa saja memutar otak untuk mengerti dia. Namun bisakubilang juga ia sosok ekstrovert layaknya buku yang terbuka yang siapa saja bisa membacanya. Tapi Ajar bukanlah buku biasa, dia adalah bukudengan tulisan Braille, yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun perlu kaurabadan kaupahami sampai kau mengerti ia sepenuhnya. Mungkin kauakan berhenti di tengah jalan saat membacanya, tapi itulahAjar, sosok unik yang bisa kau mengerti saat kau membuka halaman berikutnya.
Aku begitu menyukai Ajar, rasa suka yang menumpuk hingga aku khawatir aku jatuh cinta. Namun, bukan cinta yangkutahu aku rasakan, melainkan rasa kagum yang luar biasa. Saking kagumnya, rasa itu perlahan berubah. Bertumbuh semakin tinggi menjadi rasa iri. Aku iri akan sifat pantangmenyerahnya yang luar biasa, sifat yang tak pernah kumiliki dan tak pernah kupercaya ada dalam sosok manusia. Tapi Ajar punya. Bahkan di saat tidak ada lagi cahaya atau ketika semua jalan menjadi buntu, dia tetap saja maju. Aku iri akan keberaniannya menjadi diri sendiri. Ketika semua orang meringkuk di balik topengnya dan menyembunyikan identitasnya, Ajar menunjukkan siapa dia.Lewat katakatanya yang selalu berkobar hingga mampu membakar orang yang membacanya, ia ungkapkan ekspresi diri. Lewat lakunya yang kadang membuat orang menggelengkan kepala, ia tunjukkan cara berpikirnya. Aku juga iri pada isi otaknya. Otak yang dulu memproduksi karya yang seringkubaca. Karya karya yang jujur dan terbuka. Sama seperti dia, aku juga menyukai karyanya. Bukan karena keindahan atau kelembutan karyakaryanya, akan tetapi inspirasi yang selalu ada dalam goresan tulisannya. Akupun iri dengan cara pandangnya tentang perbedaan. Perbedaan yang sering memecah belah. Jika ada sebuah perang maka Ajar adalah oposisi, pihak yang tak membedakan kanan dan kiri.
Aku memang sudah jarang dan mungkin hampir tidak pernah lagi berjumpa dengan Ajar. Ada jarak dan ruang yang membuatku tak bisa menemuinya lagi. Padahal dulu, Senin sampai Sabtu aku bisa menjumpai ia dan jaket merahnya. Senin sampai Sabtu waktu aku bertukar pikiran dengannya, bertukar cerita, bertukar asa, dan kadang bertukar tugas yang seharusnya dikerjakan di rumah. Aaah, dasar waktu. Kejam sekali. Sering kudengar berita yang tak merdu mampir di kupingku. Berita yang takkutahu benar atau tidaknya. Kabar burung, kupikir. Namun suara sumbang itu terus saja datang padaku. Membuatku terhenyak dan kehabisan kata. Tidak mungkin dia. Tidak mungkin ini benar. Aku merasa resah , khawatir, dan bimbang jika hal itu benar. Adayang bilang Ajar telah berubah. Tapi, Ajar bukanlah sebuah perkataan, ia adalah buku yang harus dibaca dandipahami sampai endingnya tiba.
Sepatah kata tidak akan mampu mengubahmu menjadi orang yang berbeda.
Sepatah kata tidak akan mempu mengubahmu memandang orang lain secaralain.
Tapi, masa bodohlah. Ajar tetaplah Ajar.
Ia tetap sama saja dimataku, masihsama dengan sosok yang membagi senyumyadenganku enam tahun lalu. Ajar. Sebentar lagi kau akan menjadi guru. Guru bagi calon muridmurid yang membutuhkan kasih sayang dan dedikasimu. Tapi, Ajar, akulah murid pertamamu. Murid yang kau ajari banyak hal tanpa kau sadar. Murid yang selalu mengagumi dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagimu. Ajar. Kata dasar dari mengajar, mengajari, mengajarkan, dan pelajaran. Katakata yang mungkin telah kau bawa bersama tali pusarmu saat kau datang di dunia. Mungkin kau dan aku tidak bisa berdampingan atau bersama selamanya. Tidak secara ragawi. Namun kau akan hidup sebagai sebuah pandanganyang suatu saat bisa kukenang dan kuceritakan.
Tak pernah menjatuhkanku ataupun menghakimiku
Kau ungkapkan apa adanya tentang aku
Pengobar semangatku
Saat aku jatuh,
aku selalu membaca tulisanmu ini
Dab hasilnya mujarab
Setidaknya aku bisa terhibur dengan gambaran diriku dalam karyamu
Terimakasih,
Hilda Tris Bianti
A IS FOR AJAR
Oleh : Hilda Si Pengagum Rahasiamu
Ajar Hayumahastuti. Aku biasa memanggilnya Imas dan kadang hanya memanggilnya “Mas”. Namun ada pula yang memanggilnya Zim, Miz, dan bahkan Sayur sebagai panggilan akrab. Aku tak pernah memanggilnya selain Imas. Aku selalu memanggilnya Imas. Bukannya aku tidak akrab dengannya, melainkan karena nama Imas sangat indah dan terasa manis saat diucapkan. Aku memang selalu memanggilnya Imas, namun aku selalu ingin memanggilnya dengan panggilan “Ajar”. Panggilan yang cocok untuk menggambarkan kepribadiannya yang sederhana dan bersahaja . Untuk itu, ijinkan aku dalam tulisan ini memanggilnya Ajar. Ajar.
Jika ada yang bertanya kapan aku mengenalnya, maka aku akan kembali pada enam tahun yang lalu. Tahun dimana hidup terasa sangat indahdan menyenangkan. Masa dimana masa depan bukanlah suatu permasalahan. Jika ada yang bertanya bagaimana aku bisa mengenalnya, maka akan kujawab “aku tak tahu”, karena memang tak pernah terbesit dalam benakku jika aku bisa mengenalnya . Baik sebagai seorang teman ataupun sebagai sahabat. Tapi layaknya sungai yang bertemu lautan, aku dan dia akhirnya dipertemukan juga. Pertemuan yang orang menyebutnya sebagai takdir. Aku selalu percaya takdir. Dan jika takdirku bertemu dengannya, maka itu adalahsalah satu takdir yang kusyukuri.
Ajar Hayumahastuti namanya. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku memang belum sepenuhnya mengenal Ajar, bahkan setelah enam tahun menyaksikan eksisitensinya. Bahkan setelah setahun penuh akuberada dalam lingkup yang sama. Padahal aku selalu ingin mengenalnya, mengetahui sisi lainhidupnya yang belum pernah kuketahui. Bisa kubilang Ajar adalahsebuah misteri, yang membuat siapa saja memutar otak untuk mengerti dia. Namun bisakubilang juga ia sosok ekstrovert layaknya buku yang terbuka yang siapa saja bisa membacanya. Tapi Ajar bukanlah buku biasa, dia adalah bukudengan tulisan Braille, yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun perlu kaurabadan kaupahami sampai kau mengerti ia sepenuhnya. Mungkin kauakan berhenti di tengah jalan saat membacanya, tapi itulahAjar, sosok unik yang bisa kau mengerti saat kau membuka halaman berikutnya.
Aku begitu menyukai Ajar, rasa suka yang menumpuk hingga aku khawatir aku jatuh cinta. Namun, bukan cinta yangkutahu aku rasakan, melainkan rasa kagum yang luar biasa. Saking kagumnya, rasa itu perlahan berubah. Bertumbuh semakin tinggi menjadi rasa iri. Aku iri akan sifat pantangmenyerahnya yang luar biasa, sifat yang tak pernah kumiliki dan tak pernah kupercaya ada dalam sosok manusia. Tapi Ajar punya. Bahkan di saat tidak ada lagi cahaya atau ketika semua jalan menjadi buntu, dia tetap saja maju. Aku iri akan keberaniannya menjadi diri sendiri. Ketika semua orang meringkuk di balik topengnya dan menyembunyikan identitasnya, Ajar menunjukkan siapa dia.Lewat katakatanya yang selalu berkobar hingga mampu membakar orang yang membacanya, ia ungkapkan ekspresi diri. Lewat lakunya yang kadang membuat orang menggelengkan kepala, ia tunjukkan cara berpikirnya. Aku juga iri pada isi otaknya. Otak yang dulu memproduksi karya yang seringkubaca. Karya karya yang jujur dan terbuka. Sama seperti dia, aku juga menyukai karyanya. Bukan karena keindahan atau kelembutan karyakaryanya, akan tetapi inspirasi yang selalu ada dalam goresan tulisannya. Akupun iri dengan cara pandangnya tentang perbedaan. Perbedaan yang sering memecah belah. Jika ada sebuah perang maka Ajar adalah oposisi, pihak yang tak membedakan kanan dan kiri.
Aku memang sudah jarang dan mungkin hampir tidak pernah lagi berjumpa dengan Ajar. Ada jarak dan ruang yang membuatku tak bisa menemuinya lagi. Padahal dulu, Senin sampai Sabtu aku bisa menjumpai ia dan jaket merahnya. Senin sampai Sabtu waktu aku bertukar pikiran dengannya, bertukar cerita, bertukar asa, dan kadang bertukar tugas yang seharusnya dikerjakan di rumah. Aaah, dasar waktu. Kejam sekali. Sering kudengar berita yang tak merdu mampir di kupingku. Berita yang takkutahu benar atau tidaknya. Kabar burung, kupikir. Namun suara sumbang itu terus saja datang padaku. Membuatku terhenyak dan kehabisan kata. Tidak mungkin dia. Tidak mungkin ini benar. Aku merasa resah , khawatir, dan bimbang jika hal itu benar. Adayang bilang Ajar telah berubah. Tapi, Ajar bukanlah sebuah perkataan, ia adalah buku yang harus dibaca dandipahami sampai endingnya tiba.
Sepatah kata tidak akan mampu mengubahmu menjadi orang yang berbeda.
Sepatah kata tidak akan mempu mengubahmu memandang orang lain secaralain.
Tapi, masa bodohlah. Ajar tetaplah Ajar.
Ia tetap sama saja dimataku, masihsama dengan sosok yang membagi senyumyadenganku enam tahun lalu. Ajar. Sebentar lagi kau akan menjadi guru. Guru bagi calon muridmurid yang membutuhkan kasih sayang dan dedikasimu. Tapi, Ajar, akulah murid pertamamu. Murid yang kau ajari banyak hal tanpa kau sadar. Murid yang selalu mengagumi dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagimu. Ajar. Kata dasar dari mengajar, mengajari, mengajarkan, dan pelajaran. Katakata yang mungkin telah kau bawa bersama tali pusarmu saat kau datang di dunia. Mungkin kau dan aku tidak bisa berdampingan atau bersama selamanya. Tidak secara ragawi. Namun kau akan hidup sebagai sebuah pandanganyang suatu saat bisa kukenang dan kuceritakan.
Tombol follow e ndek sebelah endi,Jar?
BalasHapusaku yo gak paham pop, sk tak golek ane hahha
BalasHapus